Pages

Jumat, 27 Desember 2013

Wewangian

Kemenyan, bukhur, agarbatti, dupa, sambrani...


Saya punya pengalaman dimarahi ketika menyalakan dupa dan dipaksa mematikan incense stick yang sedang saya bakar. Ternyata menurut beliau dengan saya membakar wewangian itu saya memanggil setan, makhluk gaib atau sejenisnya serta dianggap musrik... Ah, padahal salah satu rekan yang melarang saya itu baru saja dari salon menikmati spa dengan aroma theraphy bedanya yang di spa itu memakai burning oil. Saya juga pernah menikmati layanan spa di lokasi yang sama dengan aromatheraphy dari incense stick. Nah lo... apa terus di salon kita mau ketemu setan? Kok nggak protes waktu kapster di salon ini menyalakan aroma theraphy.
Saya terkadang juga memakai burning oil untuk mengharumkan kamar, wanginya lebih lembut dan benar-benar tanpa asap tapi perlu lebih waspada karena bisa saja cairan di dalam burner sudah habis sementara api masih menyala, jelas resiko kebakaran atau minimal merusak burner.
Memang segala bakar-bakaran ini berbahaya karena melibatkan penggunaan api, katanya sih lebih aman memakai burner elektronik yang dicolokin listrik tapi saya sendiri belum pernah memakainya.
well, kembali ke cerita mengenai wewangian yang dibakar ini. Jaman dulu saya sering melihat orang membakar kemenyan di rumah maupun di makam. Budhe saya juga membakar kemenyan saat ziarah ke makam leluhur. Menyapa dan memberi makan kepada entitas selain manusia menurut saya itu baik, nggak beda jauh dengan kita memberi makan pada orang lain atau memberi makan pada burung liar. Ah, tapi saya tidak ingin membahas wewangian ini dari sisi supranatural.
Salah seorang rekan saya yang pernah 6 tahun tinggal di Arab Saudi bercerita bahwa disana orang-orang biasa menggunakan buhur/bokhur untuk mewangikan pakaian atau ruangan. Proses pembakarannya nggak beda jauh dengan pembakaran kemenyan. Bahkan di toko-toko perlengkapan ibadah muslim saya sering menemukan mereka juga menjual serbuk berwarna hitam yang katanya untuk wangi-wangian dengan cara dibakar. Dengar-dengar sih bahan dasarnya getah kemenyan yang sudah dicampur getah pohon lain, lah... kalau begini apa bedanya dengan bakar kemenyan asli Indonesia.
Masyarakat mungkin sudah tercuci otaknya dengan banyaknya tayangan TV terutama sinetron yang menggambarkan dukun jahat yang membakar kemenyan. Pemirsa digiring untuk memiliki persepsi buruk tentang kemenyan.
Mewangikan ruangan membawa suasana tertentu, memang tidak semua jenis wewangian nyaman. Hal ini kembali kepada selera individu. Misalnya saya yang nyaman dengan aroma melati dari agarbatti merk Dar**an namun merasa mual dengan merk Sub**ga padahal sama-sama aroma melati. Walaupun memang paling enak aroma melati dari bunga asli, kalau yang ini tak ada mampu menandingi.
Kembali kepada mengapa wangi kemenyan sering menimbulkan kontroversi hal ini seperti yang sudah saya jelaskan di atas bahwa orang-orang digiring untuk memiliki persepsi negatif padahal kemenyan hanya salah satu varian wewangian yang ada. Hingga sekarang banyak sekali penjual minyak wangi, kayu gaharu, bukhur dan wangi-wangian sejenis dupa di sekitar Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Saya pernah mendapat oleh-oleh minyak Jafaron dari seorang teman yang pulang umroh. Nah, herannya kenapa kok nggak ada yang bilang wangi-wangian itu media untuk musrik ya... apa karena berasal dari arab? Padahal saya pernah baca kalau sebagian besar konsumen petani kemenyan di Sumatera adalah orang timur tengah. Nah... jangan-jangan wewangian yang dijual di arab sana bahan bakunya itu juga. Waduh...

0 komentar:

Posting Komentar